Penegakkan Hukum Tindak Pidana Terorisme

Nalar kekerasan berbentuk bom beberapa kali terjadi di Indonesia. Serangan mematikan berupa peledakan bom yang disertai baku tembak antara teroris dengan polisi terjadi begitu menegangkan. Beberapa aparat kepolisian, warga sipil, dan pelaku teror tewas dalam peristiwa memilukan itu.

Mengamati pola dan sasaran serangan bom itu tampaknya polisi tengah menjadi target operasi. Sebab, selama ini prestasi kepolisian cukup gemilang memporakporandakan jaringan terorisme di Indonesia. Di samping itu, gerakan ini kemungkinan bentuk sikap latah kepada peristiwa peledakan bom yang terjadi di beberapa negara, sehingga kelompok-kelompok kecil ini ingin menunjukkan keberadaannya kepada khalayak.

Terlepas dari berbagai kemungkinan itu yang jelas tindakan teror telah melecehkan aparat pemerintah karena tugas menjaga ketertiban dipecundangi aksi koboi kelompok teroris. Masyarakat juga mengalami efek psikologis berupa trauma dan rasa takut karena kejadian tersebut mendapatkan publikasi yang luas dan menjadi perhatian dunia.

Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Membaca ketentuan tersebut berarti ancaman pidana terhadap pelaku teror sangat berat karena maksimal pidana mati. Meski demikian semuanya berpulang kepada keseriusan dan ketajaman nurani penegak hukum dalam menjerat pelaku melalui tuntutan dan vonis yang sesuai dengan kadar kesalahannya. Yang jelas kasus ini sangat meresahkan masyarakat, sehingga penegakan hukum dan sistem peradilan tindak pidana terorisme harus berjalan transparan, adil dan menjangkau seluruh aktor yang terlibat di dalamnya. Tidak cukup hanya menjerat pemain pinggiran yang dalam barisan kelompok teroris berkedudukan sebagai panji prajurit. Pengungkapan kasus kejahatan luar biasa ini harus meliputi siapa yang menjadi otak atau perancang serangan dan siapa pula yang mendanainya.

Pengungkapan tindak pidana pendanaan terorisme selama ini memang berjalan kurang optimal. Padahal masalah pendanaan seperti pelumas yang erat kaitannya dengan kelancaran aksi teror. Beberapa upaya perlu terus ditingkatkan seperti  mengenali secara detail profil pengguna jasa keuangan (PJK), pengawasan secara ketat kepatuhan PJK dan pengawasan kegiatan pengiriman uang melalui sistem transfer melalui sistem lainnya. Termasuk mengawasi sungguh-sungguh pembawaan uang tunai atau instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia.

Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan kepada kepolisian untuk mengusut tuntas peristiwa memilukan tersebut. Kutukan dan kecaman juga datang mengalir dari berbagai tokoh lintas agama, pemerintah, dan masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai keindonesiaan. Tindakan itu dikutuk karena tidak ada ruang yang layak bagi masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal ramah, religius dan toleran. Dalam kitab suci manapun tidak ada legitimasi yang membenarkan tindakan biadab itu.

Bom bunuh diri yang melanggar etika kemanusiaan  sejatinya merupakan eksternalisasi dari sikap jahat dan egoisme. Kebencian mengeliminasi cinta kasih terhadap sesama manusia sehingga melihat orang lain yang berbeda keyakinan atau misi hidup sebagai musuh. Kebencian yang berakumulasi tersebut menjadikan Indonesia sebagai tempat yang gersang bagi berlangsungnya kepelbagaian dalam ikatan kebinekaan. Kebencian membuat orang yang berlainan ideologi halal darahnya sehingga sah untuk diperangi.  Kebencian membuat relasi antar-manusia dipenuhi kecurigaan atau prasangka. Akibatnya, proses menyulam Indonesia menjadi peradaban yang unggul terkoyak dari rajutannya.

Kekerasan berbentuk teror yang terjadi dengan segala variabelnya tersebut harus diurai sumbu utamanya. D.H. Camara (1971) dalam analisanya mengenai spiral kekerasan menyatakan bahwa salah satu ekspresi kekerasan adalah untuk perjuangan menegakkan ideologi. Istilah ini lebih dikenal oleh kelompok keagamaan garis keras dengan sebutan jihad. Meski pemaknaan jihad tersebut  sangat  keliru namun tak dimungkiri telah menjadi bagian dari sikap hidup para kelompok militan yang kerap mengatasnamakan agama sebagai pembenarannya.

No comments

Powered by Blogger.